Berawal
ketika pembukaan suatu acara di sebuah organisasi. Setelah sesi pembukaan,
dimulailah sesi perkenalan. Masing-masing orang memperkenalkan diri, meskipun
sebenarnya sudah saling kenal. Namun, biar lebih akrab, katanya. Aturannya,
kami menyebutkan nama, tempat tanggal lahir, hobi, dan cita-cita.
“Cita-citaku
ingin masuk surga” ini sudah orang ketiga dari empat orang yang menyatakan
bahwa cita-citanya ingin masuk surga. “Hah, cita-cita macam apa itu?” batinku.
Semua orang pasti mau masuk surga. Hey, siapa pula yang tidak mau ketika semua
keinginanmu dikabulkan, apapun yang kau minta dipenuhi, buah-buahan, makanan,
air minum yang menyegarkan, sungai susu, pohon yang indah, tempat yang nyaman,
dan segala penggambaran surga lainnya? Dan siapa juga yang mau dibakar
tubuhnya, makan duri, minum darah dan nanah yang panas, dan segala siksaan neraka lainnya? Tentu semua orang memilih surga,
bukan? Tapi, apakah itu disebut cita-cita? Dan kalaupun memang itu cita-cita,
ternyata lebih banyak orang yang masih menikmati dunia padahal mereka tahu
siksa neraka. Lebih banyak yang meninggalkan perintah-Nya, padahal bisa jadi
setelah ini nyawa mereka melayang begitu saja. Ah, sudahlah. Terserah dengan
cita-cita mereka. Toh mereka sendiri yang merasakan hidupnya. Biarlah mereka
nanti mempertanggungjawabkan cita-citanya.
“Sekarang
giliran Fuzta!”
“Eh,
aku?” ya, aku baru sadar bahwa yang hadir hanya lima orang. Mereka semua sudah
memperkenalkan diri masing-masing. Berarti memang sekarang giliranku. Lalu, aku
memperkenalkan diri, nama lengkap, tanggal lahir, asal, dan berhenti.
“Hobi?”
celetuk salah satu diantara mereka. Hmmm, aku selalu berubah-ubah dengan hobi.
Waktu kecil, tiap sore aku main bola di kampung bersama anak-anak lain, dan
setiap malamnya kami main petak umpet atau bermain kasti di sekolah. Tak hanya
itu, banyak juga permainan-permainan lain, seperti kelereng dengan variasi
permainannya, mbat-mbatan, maling dan
polisi, gambaran dengan variasinya, kejar-kejaran, hingga pernah kami membuat
permainan sendiri: badal atau basket sandal. Haha, serunya mengingat masa
kanak-kanak. Tapi yang manakah yang menjadi hobiku? Atau ketika bermain sendiri
dengan kakak-kakak dan adik-adik-adikku, seperti catur, monopoli, cublak-cublak suweng, jotang alang-alang, teka-teki, atau
mendengarkan dongeng dari ibu, yang dari dulu ceritanya tidak pernah ganti,
antara cerita surga dan neraka atau ande-ande lumut. Tak ada yang istimewa,
yang penting aku suka melakukannya. Aku menikmatinya. Itulah inti permainan.
Menang kalah sudah biasa. Kalah tak menjadi masalah ketika kau menikmatinya.
Itulah prinsipku sejak kecil ketika bermain. Ternyata itu menjadi kunci
‘keberhasilanku’ dalam semua permainan itu. Jarang sekali aku ditemukan ketika
petak umpet, sering kali mereka menyerah mencariku. Dan seingatku, hanya sekali
aku menjadi orang yang mencari teman-temanku. Mungkin aku juga akan banyak
memborong kelereng atau gambaran kalau aku diizinkan main (dengan sistem yang
kalah membayar dengan kelereng/gambaran) oleh orangtuaku. Sedang dalam
permainan bola, aku dijuluki bek terbaik di kampungku. Sampai-sampai, mereka
menguji siapapun yang ingin menjadi penyerang untuk menggiring bola melewatiku.
Dalam permainan pun, mereka akan bangga sekali ketika berhasil melewatiku,
mereka juga memarahi orang yang karena meremehkanku dia gagal mencetak gol.
Haha. Masa kanak-kanak.
Ketika
SMP, tak banyak permainan seperti saat SD. Masa-masa ini, aku lebih sering
jalan-jalan di sawah, main bola tiap senin dan atau kamis sore, mandi di sungai
(meski sampai sekarang belum bisa renang), tiap malam naik ke genteng dan
menikmati indahnya bulan, suara angin, kicauan burung, dan lambaian daun pisang,
mulai mencoba bermain piano, recorder, rebana, bersepeda, sampai jarak
terjauhku saat itu bersama dua temanku dari Demak ke Semarang dan esoknya
kembali lagi dari Semarang ke Demak.
Di
SMA, tak hanya bulan, aku mulai berkenalan dengan bintang, menikmati indahnya
di tengah lapangan, di depan asrama, sampai ditegur satpam ketika ketahuan atau
disindir teman-teman atau wali asramaku ketika berbincang-bincang. Aku juga mulai
berkecimpung dengan organisasi, tapi juga masih ikut futsal atau bermain bola
bersama, masih juga bermain recorder, pianika, rebana, dan yang paling menonjol
aku sering menjadi tukang pijat teman-temanku, bahkan sampai pernah memijat
kepalanya kepala sekolah, dan beliaupun bergantian memijatku. :D
“Hobi
tuh ya yang sering dilakukan” kata temanku mulai memancing. Hey aku hampir lupa
dengan pertanyaan itu. Lama juga aku berpikir hanya untuk menjawab apa hobiku.
“Ya
hobiku bisa main recorder ini” karena saat itu aku sedang memegang recorder.
“Cita-cita?”
sepertinya temanku sudah tidak sabar. Aku berpikir cepat. Berusaha memberikan
jawaban terbaik yang memuaskan. Mulai menghubungkan mengapa aku masuk
psikologi, pilihan minorku yang ingin fokus sosial atau pendidikan, hingga
obrolan teman-temanku tadi siang tentang mengubah dunia. Lalu dengan lantang aku
menjawab “Mengubah dunia!!”
“Wussshh”
“Waw”
“Halah..
Ganti! Ganti!, rak isa, rak entuk nganggo kata-kataku” kata temanku. Sepertinya
dia tidak ikhlas obrolan tentang mengubah dunia dengan temannya tadi siang aku
gunakan sebagai cita-citaku.
“Terserah
akulah, cita-citaku kok”
Sepertinya
memang itu omong kosong. Mustahil. Muluk-muluk. Ya, begitulah, tapi tidak
bagiku. Ketika perubahan memang dibutuhkan, maka itulah jalannya, harus diubah.
Asal, perubahan itu memang membawa ke arah yang lebih baik. Lalu, apa yang
harus diubah?
Sering
kali aku mendengar komentar “Halah, baru jam 9.15, paling ntar mulainya jam
berapa” padahal seharusnya dimulai jam 9.00. Simpel. Tapi lihat akibatnya,
semakin sering dan semakin menjadi kebiasaan menunda-nunda. Sedangkan yang
merasakan akibatnya adalah semua pihak. sebenarnya mereka juga bosan dan ingin
mengubahnya. Namun bagaimana mau berubah jika hanya mengeluh dan terus tetap
melakukan hal yang sama? Bahkan sengaja memperlambat diri hingga satu jam.
Omong kosong jika mereka berkata nanti dulu untuk mengubahnya, nanti kalo sudah
jadi presiden, nanti kalo sudah jadi ketua, kalo sudah menduduki posisi
penting. Bah! Itu hanya bualan belaka. Tak lebih dari janji palsu. Kalaupun
mereka benar-benar mencapainya, pasti mereka lupa akan impiannya mengubah
kebiasaan. Kalaupun ingat, aku tak yakin mereka dapat membawa arus mengubah kebiasaan
lama menjadi seperti yang diinginkan. Begitupun dengan korupsi. Huh, betapa
bedebahnya negeri ini!
Banyak
juga kebiasaan-kebiasaan buruk lainnya yang ditanamkan sejak kecil. Kencing di
pinggir jalan, membuang sampah sembarangan/di sungai, mencontek, curang dalam
permainan, mau membantu jika diberi upah. Seperti tak punya adab. Atau
jangan-jangan memang kebaikan sudah tak pantas ditegakkan di bumi ini?
Kawan,
kalau memang ingin mengubahnya, mari kita mulai dari diri sendiri. Mari kita
mulai dengan hadir tepat waktu, biasakan jujur, membuan sampah pada tempatnya,
membantu tanpa menunggu, budaya mengantri, dan sebagainya. Tak perlu menunggu
nanti, besok, lusa, atau kapanpun, menjadi apapun engkau nanti, mulailah dari
sendiri. Mulailah dari sekarang. Tak usah menunggu adanya peraturan yang jelas.
Tak perlu menunggu orang lain menyuruhmu. Lakukanlah, nikmatilah, maka kau akan
mendapat balasannya.
Kalau
kau sudah terbiasa, mulailah ajak teman-temanmu. Tahukah kau betapa kompleksnya
pesan nabi berikut?
بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَة
Sampaikanlah
walau satu ayat.
Sangat simpel tapi juga kompleks. Walau satu ayat. Tetapi
kata ballighuu adalah perintah yang
ditujukan untuk kata ganti kedua jamak. Jadi bisa dibayangkan meski hanya satu
ayat kebaikan dan semua orang menyebarkannya, sungguh kebaikan demi kebaikan
akan terlahir dan insyaAllah dengan izin-Nya dapat menutupi keburukan-keburukan
yang ada. Pernahkah kau nonton film “Pay
It Forward”? Begitu jugalah gambarannya. Ketika semua orang dapat
mempraktekkan dan menyampaikan kebaikan, seluruh dunia akan merasakannya. Tak
perlu harus memegang posisi tertentu terlebih dahulu.
Aku punya banyak teman yang sudah mulai melakukan
ide-idenya untuk mengubah dunia. Beberapa ide itu adalah menggunakan wadah
makan/minum dan tas untuk membeli/berbelanja. Ini dilakukan untuk mengurangi
sampah, terutama plastik. Menyebar benih ikan di sungai sebulan sekali, menanam
satu pohon (tak usah muluk-muluk seribu pohon). Ini untuk melertarikan alam
kita. Menyebar kata-kata kebaikan atau yang bernuansa positif melalui sms dan
media sosial lainnya.
Aku juga melihat banyak orang di luar sana yang juga
memulai ide-idenya. Seperti membuat tulisan di blog, shodaqoh rombongan, desa
binaan, Indonesia mengajar, menyebar buku ke anak yatim, dan masih banyak
kegiatan-kegiatan lain yang bisa dilakukan. Bayangkan jika semua orang mau
melakukannya. Bukankah dapat membantu menyelesaikan masalah?
Kau dapat memulai dengan mengikuti salah satu ide di
atas. Atau kau coba dengan flash back
masa lalumu, nilai-nilai apa yang telah tertanam dalam hatimu? Kebaikan apa
yang kau dapatkan? Mana yang bisa kau lakukan?
Daan, tahukah kau mengapa aku katakan cita-citaku
ingin mengubah dunia? Apa yang akan aku lakukan? Ya, apa yang akan aku lakukan
tak jauh dari masa laluku, masa bermainku. Dulu aku belum paham ada pesan
tersirat dibalik kata-kata orangtuaku. “Kau boleh main ini, tapi tak boleh main
itu”, “Kau boleh melakukan ini, tapi tak boleh melakukan itu”. Tapi, berbeda
dengan sekarang. Saat ini aku seolah mendengar, orangtuaku berkata, “Kau sudah
menguasai ‘permainan-permainan’ itu, nak! Tapi, kau perlu tahu
batasan-batasanya. Bermain itu boleh, tetapi akan lebih baik lagi jika
bermanfaat. Lakukanlah sesukamu, nikmatilah permainanmu, tapi jangan sampai merugikan
orang lain”. Inilah yang ingin aku sampaikan. Kepada anak-anak didikku, anakku
kelak, kepada semuanya. jangan sampai ketika mereka menjadi pemimpin, mereka
menjadi seperti pemimpin saat ini yang tidak tahu batas. Seenaknya ‘bermain’
tapi melupakan aturannya. Sehingga menang menjadi satu-satunya tujuan tanpa
peduli dengan cara apapun mereka meraihnya.
Ingatlah kawan, perubahan tak akan terjadi jika
ide-ide brilianmu yang tetap terpendam dalam pikiran, tapi perubahan terjadi
jika semua ide-ide itu dapat dengan
konsisten dilakukan. Mulailah dari diri sendiri. Tak usah muluk-muluk, kekuatan tidak bisa membuka pintu besi yang besar, hanya dibutuhkan
kunci yang kecil untuk membukanya.
Ingat 3M Aa’ Gym; Mulai dari diri sendiri, Mulai dari hal kecil, dan Mulai dari
sekarang!