Sunday, August 28, 2011

Aku Ingin Pulang I

Demak, 1-12 Agustus 2011
1-12 Ramadhan 1432
AKU INGIN PULANG
“Aku ingin pulang”. Kata yang sering terucap saat pertama kali tinggal di pesantren atau asrama. Pertama kali hidup jauh dari keluarga. Namun, itu tak berlaku bagiku. Justru aku merasakan sesuatu yang sebelumnya tak pernah kurasakan. Lapang. Luas. Bebas. Dan justru timbul dalam benakku untuk menjelajah dunia.
Kini, aku ingin mengenang kembali. Mengenang semua perjalanan yang telah kulakukan. Baik perjalanan panjang yang kulalui maupun perjalanan singkat yang kulewati. Kaset memoriku mulai berputar. Berputar. Enam kali ke belakang. Lalu kedepan, secara perlahan.
Putaran satu, dua dan tiga. Awal dari perantauanku. Pertama kali aku menginjakkan kakiku di sini. Kamis, 14 Juli 2005. Kali pertama aku jauh dari rumah. Bebas. Tak ada lagi yang mengatur; suruh makanlah, tidurlah, suruh inilah, itulah. Ah, semua itu sudah takkan ada lagi. Aku bisa melakukan apa saja, kapan saja, di mana saja sesuai kehendakku. Di sini aku mengenal apa itu kitab kuning, makna sorogan, arab pegon, nahwu, shorof, dan belajar agama. Pun aku juga mengenal persahabatan juga permusuhan. Memahami perbedaan karakter teman dari desa yang satu dengan desa yang lain.
Di akhir putaran ke-2 sampai akhir putaran 3, hampir tiap malam aku naik ke genteng musholla atau genteng kamar. Menghindari polusi cahaya, menikmati indahnya malam. Mencandu hembusan angin malam. Aku mulai terbiasa bangun malam hanya sekedar naik ke genteng. Menunggu kumandang adzan. Sambil mendengarkan suara lirih para santri yang mendaras hafalan kitab maupun quran.
Putaran keempat dan kelima. Ahad, 14 Juli 2008. Aku pergi lebih jauh lagi. Mengenal dan memahami lebih banyak karakter teman dari berbagai kota. Mempelajari kebersamaan dan organisasi. Pertama kali aku tak memiliki musuh dan tak mengenal persaingan. Kecuali persaingan dalam belajar. Aku mulai mengecap rasa penat. Dan saat-saat penat itu tiba, bagian tengah asrama yang tak tertutupi, sudah cukup tuk mengingat kembali; dingin dan indahnya malam hari.
Putaran keenam. Matahari mulai cemburu. Merajuk ingin dirayu. Hingga tak lupa saban pagi dan sore aku selalu menunggu; kehadiran dan kelenyapannya, meski hanya semu. Namun aku tetap ingat pada malam. Dan mulai berkencan pada bintang. Di teras asrama, sawung, hingga lapangan. Tak peduli kata-kata orang. Yang menganggapku kesurupan.
Putaran ketujuh. Aku mulai dengan mengenali kota yang akan kutuju. Kota selanjutnya untuk mencari ilmu. Mencari setitik modal untuk terus melaju. Selanjutnya, seminggu di rumah aku sudah tak betah. Mencari seribu satu alasan agar bisa keluar rumah. Namun tanpa susah payah, alasan itu menghampiriku dengan pasrah. Membawaku terus menjelajah ke sudut-sudut kota dengan lincah. Mengajariku mengenal masalah. Menambah pemahaman dan keyakinan tentang hakikah pendidikan dan ilmu yang cerah.
“Aku ingin pulang” menjadi suatu kalimat yang haram bagiku. Tapi bukan berarti aku tak pernah mengucapkannya. Pernah satu dua kali aku mengatakannya. Hanya sekedar obrolan ringan agar akrab dengan teman, atau merasakan empati, mencoba memaksakan diri ini mencicipi. Namun tak pernah jua aku menikmati.
Namun, tidak kali ini. Aku tak lagi menikmati kepergianku. Kata “Aku ingin pulang” begitu sangat akrab di telingaku. Saat ini, kala ku menikmati malam. Kulihat langit yang begitu lengang tanpa awan. Bulan sabit bak tergigit scorpion dengan capit(nya). Atau saat menjelang purnama dan altostratus mengerubunginya. Atau saat orion dan bintangku gemini muncul di waktu sahur. Juga kala matahari mencapai cakrawala. Meringkuk, melisut, malu karena terus dirayu. Di tengah sawah ini aku baru menyadarinya. Aku ingin pulang. Secepatnya.
Kuputar lagi enam putaran ke belakang. Dan dengan cepat kembali ke depan. Di genteng musholla, genteng kamar, di asrama, teras, sawung, dan lapangan. Aku baru sadar. Kata-kata “Aku ingin pulang” pernah bahkan terlalu sering datang. Menengok diriku dalam sendiri. Mengajakku berimajinasi; bercengkerama dengan keluarga, teriakan orang tua yang menyuruh ini-itu, canda tawa kakak dan adik yang ceria. Tapi aku selalu mengindahkannya. Lebih asyik dengan hafalan-hafalan kitab, nadzam, dan pelajaran baru yang di dapat. Rumus matematika, unsur-unsur kimia, nama ilmiah biologi, tabel akuntansi, prinsip geografi, keserasian sosiologi, dsb. Lebih tertarik dengan kebersamaan, keorganisasian, dan janji-janji masa depan.
Aku juga tak dapat memungkiri. Bahwa aku juga ingin kembali; menggeluti kitab-kitab kuning itu, membahas dan diskusi masalah-masalah fiqh, nahwu, dan shorof. Aku juga ingin kembali ke asrama. Menjalani kebersamaan, berorganisasi, membuat ide-ide besar, menagih janji-janji masa depan. Tapi, lebih jauh dari itu semua. Aku ingin pulang. Pulang ke rumah. Meski kutahu aku akan sedikit “menderita” di sana. Tapi, aku tetap ingin pulang. Hidup kembali bersama keluarga.

putaran ketujuh, derajat 60

Tuesday, August 16, 2011

17 Ramadhan

17 ramadhan diturunkan qur'an
sebagai pedoman bagi yang beriman
agar sejahtera aman sentosa
bahagia di akhirat dan di dunia
bahagia, sekali bahagia tetap bahagia
selama qur'an jadi pedoman
kita tetap setia tetap sedia
menjadikan al-qur'an pedoman
kita tetap setia tetap sedia
menjadikan qur'an pedoman

oleh : M. Wahid

Sunday, August 14, 2011

Kesadaran Burung

Kesadaran burung adalah kesadaran yang diperoleh seorang penempuh (salik) selama tahap-tahap perjalanan ruhani melampaui kedudukan (maqamat) menuju Kesatuan (Tauhid). Bagaikan seekor burung, seorang salik yang sudah mencapai tahap ini akan menyaksikan dunia sebagai tempat hinggap sementara dan dapat ditinggalkan kapan pun dikehendaki. Segala sesuatu yang terkait dengan kecintaan terhadap dunia (hubb ad-dunya) sudah menyingsing bagaikan matahari menyeruak di tengah gumpalan awan hitam. Dunia telah menjadi sesuatu yang rendah di bawahnya. Pada tahap ini sang salik akan merasakan getar-getar cinta (hubb) seorang pecinta (muhibb) untuk mengarahkan pandangan kepada Kekasih (Mahbub) sehingga yang lain (ghair) akan terabaikan.
Kesadaran adalah kesadaran sang salik melihat dunia sebagai tempat berpijak untuk hinggap, makan, istirahat, bermadu kasih, tidur, dan bersarang. Atau, kesadaran makhluk berkedudukan tinggi yang selalu mengarahkan pandangan ke hamparan kehidupan di bawahnya. Atau, kesadaran untuk selalu melimpahkan segala sesuatu dari atas tanpa pernah menengadah dari bawah. Atau, kesadaran selalu memberi tanpa meminta. Atau, kesadaran seorang yang sudah berada di ambang batas antara alam kasatmata dan alam tak kasatmata. Atau, kesadaran untuk memaknai angkasa kosong sebagai Tujuan akhir dari Kebebasan yang didambakannya, meski sayap-sayapnya telah patah dan tubuhnya terbanting menjadi bangkai di muka bumi. Di atas semua gambaran itu, mereka yang sudah memliki kesadaran burung adalah cermin dari jiwa merdeka yang tak sudi bertekuk lutut kepada sesama, meski kepadanya disediakan sangkar emas dan limpahan makanan.
Meski kesadaran burung nilainya lebih tinggi disbanding kesadaran hewan melata dalam rentang perjalanan ruhani seorang salik, kesadaran burung masih terjenjang berdasarkan tingkat-tingkat kedudukan (maqamat) yang mencitrai makna keburungan. Ada kesadaran burung gagak yang tak mampu terbang tinggi dan jauh: itulah kesadaran yang masih tercekam lingkaran angan-angan (al-wahmi) memunguti serpihan-serpihan bangkai kemalasan dan cepat diri jika dipuji-puji. Ada kesadaran burung merak yang tak mampu terbang tinggi dan jauh: itulah kesadaran yang cenderung membusungkan dada dan membentangkan bulu-bulu untuk memamerkan keindahan citra dirinya sebagai yang terbaik dan terindah di antara segala burung. Ada pula kesadaran bangau yang pintar bertutur kata, namun cenderung memuji diri dan elalu memanfaatkan “udang-udang” yang percaya pada ucapannya.
Pada tingkatan-tingkatan selanjutnya ada yang disebut kesadaran burung beo, yang cenderung bangga dan berpuas diri bisa berkata-kata menirukan kata-kata orang bijak tanpa tahu maknanya. Ada kesadaran burung pipit yang cenderung berbangga diri hidup dalam kawanan-kawanan dan kemudian membanggakan kawanannya sebagai yang paking baik dan benar. Ada kesadaran burung merpati yang meski mampu terbang tinggi dan jauh, cenderung gampang terbujuk oleh kemapanan sehingga menjadi hewan peliharaan yang jinak. Yang gagah dan terperkasa diantara kesadaran-kesadaran burung itu adalah kesadaran burung rajawali: sebuah kesadaran yang terbang tinggi dan jauh di tengah kesenyapan angkasa, berkawan kesunyian dan keheningan, bersarang tinggi di puncak tebing karang, tidak makan jika tidak lapar, tidak minum jika tidak haus, dan selalu bertasbih memuji Penciptanya dengan suara garang digetari makna rahasia: haqq… haq… haq!

Di angkasa saat ini, penuh dilintasi kelebatan burung yang mengepakkan sayap-sayapnya dengan suara gemuruh; burung gagak yang hitam, burung bangau yang putih, burung merak yang aneka warna, burung beo yang hitam dengan jambul kuning, burung pipit yang coklat, burung merpati yang kelabu, dan burung rajawali yang coklat bersalut putih.
Di tengah kelepak sayap burung-burung yang terbang memenuhi angkasa itu, tanpa terduga dan terbayangkan sebelumnya tampaklah bayangan Sang Maut membentangkan sayap di atas angkasa Nusa Jawa bagaikan bayangan burung raksasa yang mengerikan. Sepanjang jalanan, baik dengan perahu maupun dengan berjalan kaki, terdengan berbagai cerita tentang Sang Maut yang rakus dan tak kenal puas menghirup napas kehidupan yang berpusar-pusar di tengah kelebatan pedangm tombak, panah, dan keris pusaka yang tersebar di gunung, lembah, bukit, hewan, sawah, desa, dan kuta di Nusa Jawa.
Para pelaut menuturkan, meski Sang Maut tidak segenas dan serakus tahun-tahun sebelumnya, napas kehidupan yang dihirup-Nya pada tahun-tahun belakangan masih menggemakan tembang Kematian di berbagaisudut Nusa Jawa. Keberadaan-Nya laksana hamparan mendung kelabu tersalut cahaya subuh dengan berjuta sayap Kematian mengambang di cakrawala.
Sejak zaman purwakala Sang Maut telah menampakkkan kesetiaan dan kecintaan pada Nusa Jawa. Kesetiaan Sang Maut laksana kesetiaan burung raksasa Kematian di alam dongeng yang setia menunggu Pohon Kehidupan tempatnya bersarang. Selama puluhan abad Sang Maut dengan keganasan tiada tara nyaris tak pernah beranjak dari pohon Kehidupan yang disebut Nusa Jawa. Ddari waktu ke waktu, Sang Maut dengan kerakusan menakjubkan menggelar pesta darah, menyantap penghuni Nusa Jawa bagaikan burung raksasa Kematian menyantap kawanan ulat yang memenuhi penjuru pohon.
Aneh, tutur orang bijak, manusia-manusia penghuni Nusa Jawa yang bagaikan kawanan ulat itu secara ajaib tidak pernah habis, meski dijadikan santapan dalam pesta darah Sang Maut. Ulat-ulat it uterus berdatangan ke Pohon Kehidupan Nusa Jawa. Dengan beriap-riap mereka bermunculan dari pohon-pohon sekitar, seolah-olah sengaja menyuguhkan diri untuk disantap. Demukianlah, sang burung raksasa Kematian akhirnya tak pernah beranjak pergi dari Pohon kehidupan yang menyuguhkan santapan lezat. Sambil berkicau dan menjerit-jerit garang sang burung raksasa Kematian menyantap dengan lahap manusia-manusia ulat penghuni Pohon Kehidupan Nusa Jawa sebagai makanan kesukaannya.
Sejak zaman purwakala Sang Maut telah beribu-ribu kali menjadikan penghuni Nusa Jawa sebagai hidangan lezat dalam pesta darah. Tidak satupun penghuni Nusa Jawa ingat berapa kali perhelatan pesta darah dilakukan. Mereka hanya bisa menandai bahwa citra Kematian bagi penghuni Nusa Jawa adalah berwarna merah laksana darah yang tumpah dalam pesta tersebut. Sejak zaman purwakala, kegemaran Sang Maut menyantap penghuni Nusa Jawa itu digambarkan sebagai kegemaran penghuni Nusa Jawa mengunyah buah pinang dan sirih yang mengeluarkan cairan warna merah. Kematian mereka gambarkan sama merahnya dengan air kunyahan sirih dan pinang. Kematian adalah darah. Kematian adalah air kunyahan sirih. Kematian adalah air kunyahan air pinang. Kematian adalah merah. Lantaran itu, kata pejah (Jawa Kuno: mati), mengandung perlambang yang sama dengan kata peja (Jawa Kuno: pinang) yang jika dikunyah menghasilkan air berwarna merah. Kata seda (Jawa Kuno: mati) pun mengandung makna perlambang yang sama dengan kata sedah (Jawa Kuno: sirih) yang jika dikunyah mengalirkan air berwarna merah. Bagi penghuni Nusa Jawa, Kematian adalah darah merah. Darah adalah Kematian. Kematian adalah merah. Merah adalah Kematian.

dikutip dari: Sunyoto, Agus. 2004. "Suluk Malang Sungsang Konflik dan Penyimpangan Ajaran Syaikh Siti Jenar". Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara.